INI CARA KEMENDIKBUD MENGEKSPOR LULUSAN VOKASI KE ASIA PASIFIK
Yuni Astutik & Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
NEWS 09 November 2020 14:23
INFOGRAFIS Iklan (Kemendikbud), Lawan Pengangguran, Vokasi Gerakkan UMKM.
Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI melalui Dirjen Pendidikan Vokasi mengadakan Webinar Kemendikbud "Vokasi Spesifik untuk Asia Pasifik" yang melibatkan atase pendidikan di Asia Pasifik diantaranya Jepang, Bijing dan Port Moresby, Papua Nugini.
Adapun pertemuan secara vorutal ini dihadiri oleh Dirjen Vokasi Pendidikan dan Kebudayaan RI, Wikan Sakarinto. Serta juga dihadiri oleh Atase Dikbud KBRI Canberra, Chareun Anwar, Atase dikbud KBRI Beijing, Yaya Sutarya dan Ceo Hamaren group Jepang Indonesia, Usman naito.
Direktur Mitrasdudi Kemendikbud RI, Ahmad Saufi mengatakan pertemuan yang dilakukan secara virtual ini untuk menjembatani serta koordinasi peluang kerjasama industri dengan dunia pendidikan di negera tersebut.
"Sebagai bagian dari korps diplomatik, atase pendidikan melakukan tugas dengan baik. Menghadirkan negara di lokasi tempat bekerja, negosiasi dengan mitra di luar negeri," ujarnya saat webinar di Jakarta, Senin (9/11/2020).
Dia mencatat ada 14 ribu SMK, 2.200 Politeknik di Indonesia. Guna mendukung rencana pemerintah untuk mengawinkan antara pendidikan vokasi dan industri, dilakukan juga pelatihan bagi pemimpin SMK untuk meningkatkan mutu.
"Sekarang sudah melatih Kepala SMK, meningkatkan manajerial keuangan, leadership. Tentu juga bagaimana menggandeng dunia usaha dan industri. Tahun ini baru di bawah 800, tahun depan akan ditingkatkan untuk kepala SMK lainnya," ujarnya.
Adapun demi bisa menjalin kerjasama dengan industri, bahkan bisa sampai ke negara lain, ada kondisi-kondisi tertentu yang disebutnya sebagai "term and condition apply". Di antaranya adalah penguasaan soft skill, seperti bahasa hingga menguasai etos kerja.
"Hard skill saja tidak cukup. Tapi harus menguasai bahasa asing, harus menguasai etos kerja, budaya. Jadi itu harus dibekali anak-anak kita," tegasnya.
"Membekali anak-anak dengan komunikasi, kepemimpinan dan tentunya penguasaan budaya, agar tidak gegar budaya. Peluang oleh atase pendidikan adalah term and condition apply. Tidak hanya bisa mengusai hard skill tapi kuasai bahasa mereka," imbuhnya.
Adapun atase pendidikan di Beijing, Cina dan Posrt Moresby, Papua Nugini mengungkapkan banyak kesempatan yang dimiliki tenaga lulusan vokasi di kedua negara itu. Atase Dikbud KBRI Canberra Chaerun Anwar mengatakan tenaga vokasi dari Indonesia justru menduduki lapangan pekerjaan formal di Papua Nugini, meski masih kalah dengan China, Malaysia, dan Filipina secara jumlah.
Untuk itu, Chaerun mengharapkan lulusan vokasi bisa lebih mencari kesempatan di wilayah Asia Pasific karena peluangnya masih terbuka lebar. Dia menyebutkan sektor pertambangan, logistik, kehutanan, dan pariwisata membutuhkan lulusan vokasi dari Indonesia.
"Papua Nugini menganggap Indonesia maju, sehingga rata-rata tenaga kerja skill diisi oleh orang Indonesia. Sejak 2007, ratusan orang datang ke Balai Pelatihan Jayapura untuk belajar, karena Papua Nugini dan Solomon Island melihat Indonesia sebagai negara maju. Jadi semakin membuka diri ke negara Pasifik peluangnya semakin besar," jelas Chaerun saat diskusi.
Dia menambahkan meski keinginan untuk mengambil kesempatan ke wilayah Eropa dan negara maju di Asia harus diimbangi dengan mengambil kesempatan besar di wilayah pasifik. Di Papua Nugini kebanyakan perusahaan besar berasal dari China, Malaysia, dan Australia yang kebanyakan mencari lulusan dari Indonesia untuk menduduki posisi penting di perusahaan.
"Mereka lebih menyukai tenaga kerja dari Indonesia, karena lebih skillfull dibandingkan Malaysia atau China. Jadi sebenarnya vokasi kita tidak kalah," katanya.
"Kenapa kita hanya memandang Asia seperti Jepang, China, atau Eropa tetapi ada yang dilupakan di belakang rumah kita ada yang menjanjikan," katanya.
Dalam kesempatan yang sama Atase Dikbud di Beijing Yaya Sutarya mengatakan kerjasama vokasi antara China dan Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Terutama setelah adanya komitmen untuk meningkatkan kerjasama di bidang pendidikan diantara kedua negara.
"Salah satu poin penting adalah pemberiaan beasiswa kepada mahasiswa untuk S1 sampai S3 pada 3.000 orang dalam waktu lima tahun. Tahun ini kami berikan jatah untuk 500 orang untuk berbagai bidang keahlian seperti kecerdasan artifisial, big data, robotic, mechanical engineering, hingga logistik," kata Yaya.
Dari 15.000 orang mahasiswa Indonesia di China, menurut Yaya ada sekitar 6.000 yag menempuh pendidikan vokasi. Selain itu sebagian besar yang menempuh pendidikan vokasi di negeri itu pun dapat terserap dengan baik.
"Kami sarankan pada anak-anak, kalau perlu tidak perlu pulang buru-buru ke tanah air setelah selesai. Tetapi pulanglah kalau sudah punya kemampuandan membuat lapangan kerja di Indonesia," tambahnya.
Pada 2019-2021 Kemendikbud mulai membuka kesempatan untuk anak-anak di wilayah tengah hingga timur agar bisa belajar hingga ke negeri China. Hal ini dilakukan agar jumlah peserta beasiswa lebih merata di seluruh Indonesia, dan bisa lebih banyak dibandingkan negara-negara lain.
"Kita harus meniru revolusi vokasi di China, peran industri penting untuk mensuskseskan vokasi. Misalnya sertifikasi, perusahaan pun bisa jemput bola jadi tidak hanya dari dunia pendidikan. Anggaran besar untuk vokasi bisa menjadi peluang, untuk memajukan vokasi dan perguruan tinggi ke depannya," ujarnya.
Sementara CEO Hamaren Group Jepang Indonesia Usman Naito mengatakan Jepang membutuhkan 344 ribu tenaga asing yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh lulusan vokasi dari Indonesia. Dia mengatakan persaingan di Jepang sangat kompetitif, skill yang dibutuhkan adalah yang siap pakai.
"Kita berusaha membuat link and match lembaga pendidikan di Indonesia dengan perusahaan Jepang, nanti mahasiswa yang sudah semester 3-4 ke atas bisa magang di perusahaan Jepang 1-2 semester dengan catatan sambil belajar. Sehingga bisa pulang ke Indonesia dan memiliki kemampuan yang baik," katanya.
Dia optimistis ke depannya Indonesia bisa mendatangkan tenaga terampil untuk mengisi sektor formal di jepang, sehingga bisa mengalahkan negara sekitar. Namun perlu koordinasi lebih aktif antar kementerian menurutnya sehingga bisa menggali penyebab kalah bersaing dengan negara sekitar dan perlu adanya kolaborasi antara penyelenggara pendidikan dan dunia usaha.